SALDI ISRA
22 Juli 2016
Apakah pemerintahan Jokowi-JK memiliki perhatian serius terhadap bidang hukum? Dalam batas penalaran yang wajar, pertanyaan itu muncul tidak terlepas kian buramnya potret penegakan hukum. Padahal, dalam Nawacita mereka menyatakan akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi penegakan hukum.
Secara jujur harus diakui, banyak pihak berharap duet Jokowi-JK mampu untuk melakukan lompatan besar penegakan hukum, misalnya, dalam menjawab soal kepastian hukum. Di antara masalah besar sering menjadi masalah adalah substansi hukum (legal substance). Masalah lain yang menjadi fokus, penegak hukum yang sering ”bertindak liar” dalam penegakan hukum. Potret buram penegak hukum terjadi dari hulu hingga hilir: dari penyelidikan, penyidikan, persidangan, dan segala macam penyimpangan di rumah tahanan negara. Sebab itu, pertanyaan di atas terasa semakin penting karena sampai pertengahan 2016, pemerintahan Jokowi-JK terbukti lebih memberi perhatian pada bidang ekonomi dibandingkan bidang hukum. Buktinya, hingga Juli tahun ini, pemerintah telah menerbitkan tak kurang dari selusin paket di bidang ekonomi. Kalaupun dilakukan ”sentuhan” bidang hukum, upaya ini lebih banyak untuk memperlancar pencapaian paket bidang ekonomi.
Sampai sejauh ini, upaya Presiden memberikan peringatan berulang kepada penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, lebih merupakan respons parsial atas keluhan penegakan hukum yang menimbulkan kegelisahan aparatur negara terutama di daerah. Begitu pula langkah membatalkan produk hukum daerah yang terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi, dan perizinan belumlah mencerminkan tindakan komprehensif menjawab kebutuhan bidang hukum.
Komprehensif
Dengan menggunakan logika sederhana, proses menuju tampuk kekuasaan merupakan tahapan menebar janji kepada pemilih. Begitu terpilih, untaian janji menjadi kewajiban untuk dipenuhi. Dalam konteks itu, masalah hukum merupakan salah satu dari sembilan agenda prioritas Jokowi-JK. Apabila dibandingkan dengan untaian janji pasangan calon presiden dan wakil presiden sejak rezim pemilihan langsung, visi-misi Jokowi-JK pada bidang hukum dapat dikatakan komprehensif.
Penilaian komprehensif tersebut ditarik dari untaian janji yang menyentuh nyaris semua unsur penting penegakan hukum. Terkait dengan substansi hukum, agenda yang ditawarkan relatif jelas dan terukur. Sebagai bagian dari memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi hukum dan penegakan hukum, Jokowi-JK menempatkan sejumlah substansi hukum menjadi perhatian sentral. Perhatian tersebut meliputi agenda pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga penegak hukum.
Barangkali menyadari substansi hukum ini tak mungkin dihadirkan tanpa menyentuh proses pembentukan hukum (legislasi), Jokowi-JK menawarkan langkah pembaruan agenda legislasi. Ihwal ini dijanjikan akan membangun politik legislasi yang jelas dan terbuka dengan menyediakan forum dan akses masyarakat terhadap proses dan produk legislasi. Tak tanggung-tanggung, dijanjikan memberantas di antara penyakit akut dalam pembentukan hukum, yaitu praktik korupsi dalam proses legislasi. Begitu pentingnya agenda ini, secara kuantitatif, dari 42 agenda prioritas bidang hukum, sekitar 25 persen terkait legislasi dan politik legislasi.
Begitu pula dengan penegak hukum, sebagai komponen penting struktur hukum (legal structure), untaian Nawacita menyentuh hampir semua aparatur penegak hukum. Khusus penegak hukum yang berada di bawah kuasa presiden, agenda prioritas memberi perhatian lebih kepada institusi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, demi mewujudkan kehadiran peran negara dalam pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, Nawacita memberikan perhatian lebih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagai bagian dari upaya reformasi penegak hukum dari hulu sampai ke hilir, Jokowi-JK memberikan prioritas pada pemberantasan praktik mafia peradilan.
Dengan membaca agenda prioritas bidang hukum Jokowi-JK, tak terbantahkan, semua institusi penegak hukum menjadi target pembenahan. Tentu saja, langkah dan pendekatan yang diambil tidak persis sama dan sebangun untuk semua lembaga penegak hukum. Bagaimanapun, untuk lembaga penegak hukum yang berada di bawah presiden, yaitu kepolisian dan kejaksaan, langkah dan pendekatan yang dilakukan harus berbeda dengan KPK, organisasi advokat, dan kehakiman. Bagi kepolisian dan kejaksaan, Presiden memiliki otoritas langsung memastikan bekerjanya langkah reformasi internal kedua penegak hukum ini.
Sekalipun dengan pendekatan berbeda, Nawacita menuangkan salah satu agenda prioritas yang sangat mendasar, yaitu memastikan sinergi di antara kepolisian, Kejaksaan Agung, PPATK, dan KPK. Disadari, sesungguhnya sinergi menjadi salah satu kunci dalam penegakan hukum terutama dalam pemberantasan korupsi. Di antara konkretisasi upaya sinergi tersebut adalah memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi penegakan hukum kasus korupsi. Berkaca dari bentangan empirik upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi selama ini, lemahnya sinergi penegak hukum memberikan sumbangan penting perlambatan pemberantasan korupsi.
Catatan penting yang patut dikemukakan terkait ”memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi penegakan hukum” tidak begitu konkretnya visi-misi terhadap elemen lain, yaitu budaya hukum (legal culture) dan pendidikan hukum (legal education). Namun, tanpa itu pun, agenda bidang hukum yang ditawarkan dapat dinilai lebih dari cukup guna memperbaiki penegakan hukum. Sejauh ini, kedua unsur itulah yang menjadi masalah pokok dalam penegakan hukum. Banyak pihak meyakini, jika keduanya mampu dilaksanakan dan diselesaikan secara baik, wajah penegakan hukum akan berubah total.
Momentum
Ujian sesungguhnya untaian janji dalam visi-misi bukan terletak bagaimana menyusunnya secara baik dan komprehensif, melainkan bagaimana melaksanakannya. Biasanya pemerintahan yang baru mendapat mandat pemilih memerlukan momentum merealisasikannya. Jamak dipahami, biasanya, hari-hari dan bulan-bulan pertama memerintah menjadi momentum paling penting menggerakkan energi untuk memulai melaksanakan visi-misi. Pilihan pada awal memerintah karena itulah momentum paling strategis. Pepatah klasik menyatakan, ”tempalah besi ketika masih panas”.
Apabila ditelusuri kembali masa-masa awal memerintah, Jokowi-JK tidak berhasil mendapatkan momentum untuk memulai agenda penegakan hukum. Selain dihadapkan kepada masalah manuver politik sejumlah kekuatan politik di DPR, Jokowi tidak berhasil mendapatkan figur yang diyakini sepenuhnya mampu menggerakkan agenda pembaruan hukum yang tertuang dalam Nawacita. Contoh paling konkret, Jokowi harus menanggung beban politik tak sederhana ketika terjadi kisruh pengisian jabatan kapolri yang menempatkan Irjen Budi Gunawan di pusaran pro-kontra. Padahal, jamak dipahami, posisi kapolri menjadi salah satu figur kunci Presiden dalam penegakan hukum.
Perkembangan selanjutnya, tanpa pro-kontra pun, Jokowi gagal menegaskan penegakan hukum saat pelantikan Kapolri Tito Karnavian. Banyak pihak berharap selain amanat ”sinergi di antara lembaga penegak hukum”, Presiden seharusnya secara eksplisit memerintahkan Kapolri melakukan pembenahan internal sehingga dalam kurun waktu tertentu penilaian negatif terhadap institusi kepolisian menurun tajam. Misalnya, memerintahkan Kapolri menanggulangi isu rekening gendut dan penyalahgunaan wewenang penegakan hukum.
Tidak hanya di kepolisian, hingga kini, publik pun belum menyaksikan gebrakan reformasi hukum Jokowi di institusi kejaksaan. Padahal, gagasan pembaruan hukum dan penegakan hukum tidak mungkin berlari kencang tanpa perubahan signifikan di internal kejaksaan. Adakah terjadi perubahan signifikan di internal kejaksaan selama era Jokowi? Pertanyaan sederhana, tetapi pasti jauh dari sederhana menjawabnya secara tuntas. Jika sejak semula Jokowi menggariskan arah reformasi kejaksaan, pasti jauh lebih mudah melakukan evaluasi kinerja Jaksa Agung. Sebagai institusi yang berada di bawah Presiden, misalnya, sesuai agenda prioritas penegakan hukum Nawacita poin ke-39, Jokowi seharusnya memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung melaksanakan lelang jabatan dalam mengisi jabatan strategis di kepolisian dan kejaksaan. Seandainya titah tertulis pembaruan hukum dalam Nawacita disampaikan secara terbuka kepada Kapolri dan Jaksa Agung, berbagai kalangan yangconcernterhadap reformasi kepolisian dan kejaksaan memiliki alasan kuat menagihnya kepada Kapolri Tito dan Jaksa Agung Prasetyo.
Kesempatan lain yang tak kalah pentingnya dalam penegakan hukum muncul saat KPK begitu terjepit ujung dari penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Dalam batas-batas tertentu, Presiden Jokowi memiliki momentum mencegah agar KPK tak ”terdesak” lebih jauh. Sebagaimana dikemukakan dalam ”Memudarnya Imaji Antikorupsi” (Kompas, 19/3/2015), melindungi KPK dari segala macam bidikan atau serangan yang berpotensi melumpuhkan lembaga ini wajib hukumnya. Namun, Jokowi seperti tertatih-tatih mengambil momentum ini guna merealisasikan komitmen menolak segala bentuk pelemahan KPK. Meski telah tertinggal jauh, Jokowi masih memiliki momentum menjaga KPK: pastikan revisi UU KPK yang bermuara pada pelemahan KPK tidak terjadi.
Ihwal politik legislasi, banyak fakta membuktikan bahwa pembentukan UU masih belum sepenuhnya dalam kendali Presiden. Paling tidak, sejumlah materi dalam revisi UU Pilkada yang ditetapkan bersama dengan DPR mendapat catatan khusus dari Presiden Jokowi. Sebagai pemegang kuasa legislasi, menteri yang ditunjuk mewakili Presiden dalam pembahasan bersama dengan DPR harus bekerja dalam arahan Presiden. Artinya, tak boleh terjadi substansi UU yang disetujui bersama dengan DPR berbeda dengan arahan Presiden. Guna menjaga rentang kendali dalam proses legislasi, Presiden harus memastikan substansi UU yang disetujui bersama sejalan dengan politik legislasi pemerintah. Cara sederhana bisa ditempuh, Presiden harus mengoptimalkan peran Kantor Presiden dalam memantau pergerakan pembahasan substansi RUU di DPR. Dalam hal ini, tiga serangkai penopang Kantor Presiden, yaitu Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Kepala Staf Kepresidenan, harus menemukan mekanisme dan formula yang tepat guna memantau bekerjanya proses legislasi di DPR.
Dalam waktu dekat, pemantauan kian penting karena banyaknya UU yang terkait dengan pemilu dan penegakan hukum yang akan dibahas di DPR. Tak hanya itu, UU yang terkait dengan perbankan juga masuk dalam program legislasi prioritas tahun ini dan kemungkinan akan selesai tahun depan. Jikalau Presiden gagal menjaga proses legislasi, bersiaplah menerima implikasi substansi UU yang sebagian besarnya tak sejalan dengan politik legislasi Presiden. Terlepas dari semua catatan di atas, saatnya Presiden Jokowi memberikan fokus lebih besar terhadap masalah hukum. Kebutuhan mendesak, kita memerlukan peta jalan reformasi hukum dan penegakan hukum. Dengan peta tersebut, Presiden menggerakkan semua institusi penegak hukum di bawah wewenangnya. Peta jalan itu pula yang menjadi instrumen bagi Presiden mendorong lembaga penegak hukum, seperti Mahkamah Agung, mempercepat pembaruan internal. Jika dalam waktu dekat fokus itu tidak terlihat, Jokowi sulit keluar dari penilaian sebagai presiden yang mengabaikan bidang hukum.
SALDI ISRA, PROFESOR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2016, di halaman 6 dengan judul “Hukum yang Terabaikan”