Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menerima Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu untuk berdiskusi mengenai RUU Pemilu yang akan menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019. Zulkifli mendapat berbagai masukan terkait pemilihan Presiden, DPR, DPD dan DPRD yang rencananya diselenggarakan serentak pada 2019 mendatang.
Diskusi bersama Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu yang diwakili oleh Titi Anggraini selaku Direktur Ekesekutif Perludem dan Ketua Perludem Didik Supriyanto berlangsung selama kurang lebih satu jam di ruang kerjanya, Senayan, Jakarta, Selasa (19/7/2016). Dalam kesempatan ini, Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu menyampaikan beberapa simulasi terkait Pemilu 2019.
Pertama, simulasi pemilu presiden dan kepala daerah pelaksaannya dilakukan secara terpisah agar dapat lebih sederhana. Zulkifli menyampaikan, hal itu sangat ideal tetapi menurutnya kecil kemungkinan disetujui partai-partai besar.
“Secara teori betul tapi partai besar enggak mau. Saya kira keberatan. Kalau saya sih setuju, tapi parpol besar belum tentu mau,” ujar Zulkifli menanggapi simulasi pertama yang disampaikan oleh Didik.
Kedua, pemilihan dilakukan secara proporsional tertutup. Akan tetapi, hal ini dengan tegas ditepis Zulkifli dengan alasan bertentangan dengan demokrasi Pancasila.
Zulkifli menegaskan, partainya sejak dulu mendukung pemilihan secara terbuka. Dengan begitu rakyat tidak akan disesatkan pada kondisi ‘beli kucing dalam karung’.
Simulasi ketiga, daerah pemilihan (dapil) parpol dipersempit. Namun menurut Zulkifli hal ini terlampau sulit direalisasikan karena tidak ada angka idealnya secara pasti. Kemudian jika terlalu dipersempit maka cakupannya menjadi seperti distrik.
Keempat, ambang batas atau threshold dalam Pemilu 2019 angkanya diturunkan menjadi satu persen. Terhadap hal ini, Zulkifli berpendapat alangkah lebih baik jika threshold ditiadakan agar kader yang sudah mendapat perolehan suara tertinggi bisa langsung dikukuhkan sebagai pemenang. Sehingga tidak ada lagi perdebatan ataupun gugatan pasca pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang berbuntut panjang.
“Saya setuju sebetulnya kalau threshold itu jangan tinggi-tinggi. Bagus seperti di daerah, kalau perolehannya paling tinggi, ya sudah jadi. Orang sudah dipilih, mau bagaimana? Maksud saya itu kalau di daerah berapa pun perolehannya kan ia yang duduk, nah itu yang konsisten. Saya sih setuju 1 persen karena kita harus menghargai suara masuk. Tapi kalau sekarang kan (threshold-nya) 3,5 persen,” terangnya.
Simulasi terakhir, keikutsertaan perempuan yang duduk dalam parlemen dengan angka minimal 30 persen. Zulkifli mengatakan, hingga saat ini hal itu masih menjadi kendala partai politik karena tidak banyak perempuan yang terjun ke dunia politik memiliki pengikut.
“30 persen suara saya setuju tapi tetap sulit karena perempuan yang mau masuk politik dan sudah memiliki pengikut masih sedikit. Kalau tidak punya pengikut kan kasihan, sudah keluar uang tapi tidak ada yang milih. Ideal tapi sulit karena partai-partai besar belum tentu mau,” kata Zulkifli.
“Tujuan kita bukan untuk makhluk individu, tapi semua untuk semua. Kalau mau pandangan hidup ini berubah, ganti Pancasilanya. Saya waktu itu disumpah. Jadi kita harus berpegangan pada prinsip-prinsip,” pungkasnya.