Mahasiswa UHAMKA Jakarta Tandang ke MK

0 0
Read Time:2 Minute, 57 Second

Sebanyak 210 mahasiswa dan 10 dosen Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/3). Kedatangan para mahasiswa tersebut diterima oleh Panitera Pengganti MK, Hani Andhani, di aula Gedung MK.

Dalam kesempatan itu, Hani menyampaikan materi berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan”. Hani menjelaskan latar belakang dibentuknya MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003. “MKRI merupakan hasil amandemen UUD 1945,” kata Hani yang didampingi Sri Astuti selaku Kepala Program Studi Pendidikan Ekonomi UHAMKA.

Dijelaskan Hani, amandemen UUD 1945 adalah salah satu tuntutan Reformasi Politik 1998. Seperti diketahui, ada beberapa tuntutan reformasi selain perubahan UUD 1945. Di antaranya, menghapuskan dwifungsi ABRI, penegakan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan pers.

Lebih lanjut, Hani menjelaskan terjadinya amandemen UUD 1945 dilatar belakangi beberapa hal, mulai dari banyaknya pasal yang sangat multitafsir, terlalu luwes, sehingga perlu disempurnakan. Hasil amandemen UUD 1945, antara lain tidak mengubah pembukaan UUD 1945 serta tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun sistem presidensial di Indonesia. “Setelah diamandemen, UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 aturan peralihan, 2 aturan tambahan dan tanpa penjelasan,” ungkap Hani kepada para mahasiswa.

Sejarah Judicial Review

Hani juga menerangkan sejarah terjadinya pengujian undang-undang di dunia yang diawali dengan adanya Kasus Marbury vs Madison saat transisi pemerintahan di Amerika Serikat, dari John Adams ke Thomas Jefferson pada 1800. Jelang lengser dari presiden, John Adams mengangkat orang-orang dekat menjadi pejabat, termasuk menjadi hakim. Setelah ditandatangani, SK pengangkatan itu tidak sempat disampaikan kepada para pejabat yang bersangkutan karena John Adams keburu lengser. Paginya, Thomas Jefferson sudah menjadi presiden baru Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, Thomas Jefferson menolak memberikan salinan SK pengangkatan itu kepada para pejabat yang bersangkutan. Salah seorang pejabat yang protes adalah William Marbury karena merasa SK pengangkatan dirinya sebagai pejabat sudah disetujui Senat. Marbury mengadu ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, meminta untuk memerintahkan presiden untuk mengeluarkan satu tindakan. “Dari kasus itulah judicial review muncul. Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya menolak gugatan Marbury,” jelas Hani.

Selain itu, ungkap Hani, gagasan perlunya peradilan Konstitusi dicetuskan oleh Pakar Hukum Tata Negara Hans Kelsen pada 1919. Gagasan tersebut dilontarkan karena menurutnya harus ada yang mengawal Undang-Undang Dasar (UUD). “Hingga pada 1920, dibentuklah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia di Austria,” imbuhnya.

Di Indonesia sendiri, gagasan pengujian undang-undang sebetulnya sudah tercetus sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun, Soepomo tidak setuju karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian undang-undang kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.

Setelah terbentuk, MKRI memilliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasarkan amanat UUD 1945. Kewenangan MKRI adalah menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MKRI, memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau  Wakil Presiden menurut UUD.

Usai penyampaian materi, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Salah seorang mahasiswa bernama Tamam, menanyakan siapa yang mengawasi Hakim Konstitusi mengingat MKRI pernah mengalami kasus suap yang menjerat Ketua MKRI Akil Mochtar.

“Yang mengawasi Hakim Konstitusi secara internal adalah Dewan Etik. Idealnya Dewan Etik harus dibentuk secara permanen. Memang saat terjadinya kasus Akil Mochtar, MK belum membentuk Dewan Etik,” ucap Hani. (Nano Tresna Arfana/lul)

Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12915#.Vv1RDpyLRdg

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

About Author

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *