Teman Ahok, Pemohon perkara No. 54/PUU-XIV/2016 dan Bakal Calon Bupati Aceh Barat Fuad Hadi, Pemohon Perkara No. 55/PUU-XIV/2016 memperbaiki gugatan terhadap syarat pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang No. 10 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Melalui kuasa hukumnya masing-masing, para Pemohon menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Rabu (24/8) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Muhammad Ali Fernandez selaku kuasa hukum Pemohon Perkara No. 54/PUUXIV/2016 menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan seperti yang disarankan Majelis Hakim pada sidang pendahuluan. Selain itu, Fernandes menekankan bahwa Perkumpulan Teman Ahok, PKIB, dan perseorangan tetap dicantumkan sebagai para Pemohon perkara tersebut.
Fernandez juga menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan pada petitum permohonan. Salah satu petitum-nya adalah meminta MK menyatakan Pasal 41 ayat (1) UU Pilkada, sepanjang frasa “dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan” bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, Fuad Hadi selaku Pemohon Perkara No. 55/PUUXIV/2016 menyampaikan perbaikan legal standing yang digunakannya. Bila pada sidang pendahuluan ia masih menjadi bakal calon yang belum terdaftar, saat ini statusnya sudah menjadi bakal calon lewat jalur independen yang sudah mendaftar ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Barat. Selain itu, Pemohon dan pasangannya juga sudah dinyatakan lolos verifikasi dari KIP Aceh Barat.
Fuad juga mengatakan telah melakukan perbaikan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan. Salah satu perbaikan yang dilakukan yaitu perbaikan petitum permohonan. Fuad tetap meminta Pasal 7 ayat (2) huruf p UU Pilkada dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai yang mencalonkan diri di daerah lain.
Pokok Permohonan
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, kedua Pemohon menyampaikan keberatannya dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 48 ayat (1a) huruf b, (3b), dan (3d) UU Pilkada yang mendiskriminasikan calon kepala daerah yang berasal dari jalur independen.
Kuasa hukum Pemohon No. 54, Andi Syafrani pada sidang pendahuluan menyampaikan Pasal 41 UU Pilkada memiliki makna calon gubernur/bupati/walikota dan calon wakil gubernur/bupati/walikota hanya dapat mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan dengan dukungan dari penduduk yang pernah menjadi pemilih dalam pemilihan sebelumnya. Dengan kata lain, dukungan untuk calon indepen hanya dapat diberikan oleh WNI yang berusia di atas 17 tahun atau sudah berusia 17 tahun pada pemilu sebelumnya.
Menurut Pemohon, ketentuan semacam itu dianggap inkonstitusional karena pada kenyataannya banyak sekali penduduk yang baru pertama kali mempunyai hak pilih pada Pilkada yang akan berlangsung karena baru berusia 17 tahun atau baru menikah maupun penduduk pindahan.
Sementara, Fuad Hadi, kuasa hukum Pemohon No. 55, menyampaikan bahwa Pemohon merasa diperlakukan diskriminatif akibat berlakunya Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa calon kepala daerah yang merupakan petahana cukup menjalani cuti selama masa kampanye saja.
Fuad mengatakan ketentuan tersebut menguntungkan petahana dari sisi anggaran. Sebab, Fuad beranggapan anggaran pemilihan juga berasal dari APBD kabupaten yang menjadi kewenangan untuk menggunakannya berada di tangan petahana. Oleh karena itu, Pemohon, seperti yang disampaikan Fuad langsung menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada tersebut diskriminatif. (Yusti Nurul Agustin/lul)