Pemerintah : Masa Jabatan Hakim Ad Hoc Sesuai Kebutuhan

0 0
Read Time:3 Minute, 43 Second

Pembatasan masa jabatan hakim ad hoc sudah sesuai dengan sifat, karakter, dan kebutuhan atas jabatan hakim ad hoc di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut disampaikan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang perkara pengujian Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) Selasa (23/8) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara tersebut  yang dimohonkan oleh Mustofa dan Sahala Aritonang.

Mewakili Presiden, Rumondang menyampaikan tanggapan terhadap gugatan dua hakim PHI tersebut. Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat, Rumondang menyampaikan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

“Selain lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara dapat pula dibentuk pengadilan khusus dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang pembentukannya diatur dalam undang-undang.  PHI merupakan salah satu pengadilan khusus di bawah MA,” jelasnya.

Pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, lanjut Rumondang,  dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu. Misalnya, hakim ad hoc yang memiliki keahlian menyelesaikan persoalan terkait perselisihan hubungan industrial.  Kedudukan hakim ad hoc pada pengadilan khusus tersebut diatur langsung dalam Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman.

“Dibentuknya hakim ad hoc pada awalnya bertujuan untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim nonkarier yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif bersama-sama hakim karier menangani suatu perkara,” jelas Rumondang yang pada kesempatan tersebut didampingi Direktur Litigasi Kemenkumham Yunan Hilmy.

Lebih lanjut, Rumondang menjelaskan bahwa sifat kekhususan hakim ad hoc diatur dalam undang-undang yang berbeda, tergantung lingkup pengadilannya. Oleh sebab itu, syarat menjadi hakim ad hoc di masing-masing pengadilan khusus juga berbeda.

Bila dikaitkan dengan dalil Pemohon yang meminta masa jabatan hakim ad hoc disamakan dengan hakim karier, Pemerintah menganggap dalil tersebut tidak berdasar dan tidak relevan. “Terkait perbedaan antara hakim karier dan hakim ad hoc telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014 halaman 112 angka 3.20 yang dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan bahwa menurut Mahkamah benar ada perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karier, tetapi perbedaan tersebut tidak serta-merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter, dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda,” kutip Rumondang.

Oleh karena itu, Pemerintah menganggap permintaan Pemohon justru akan menimbulkan diskriminasi bila dikabulkan oleh Mahkamah. Sebab, artinya telah terjadi perlakuan yang sama terhadap suatu hal yang berbeda atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama.

Masih menanggapi pokok permohonan Pemohon yang juga meminta sifat sementara masa tugas hakim ad hoc dilihangkan, Pemerintah menegaskan bahwa sifat sementara tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai peradilan khusus, salah satunya diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman.

Pemerintah khawatir, bila sifat sementara tersebut dihilangkan, maka makna hakim ad hoc yang sejatinya mengandung arti sementara tersebut menjadi hilang. Selain itu, bila ketentuan tersebut diubah, akan memengaruhi sifat peradilan khusus lainnya.

Kedudukan Hukum

Pada kesempatan yang sama, Pemerintah juga memberikan tanggapan terkait kedudukan hukum para Pemohon. Menurut Pemerintah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Pendapat tersebut dilayangkan karena Pemerintah melihat Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum yang diamanatkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.

Pemerintah beranggapan tidak ada satupun hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang PPHI. Hal tersebut terlihat dari tidak terhalanginya pekerjaan Pemohon sebagai hakim ad hoc di PHI. Selain itu, para Pemohon tetap mendapatkan hak sebagai hakim ad hoc berupa gaji, tunjangan, serta fasilitas lainnya yang diberikan negara. “Sehingga menurut Pemerintah, terhadap argumentasi adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon nyata-nyata tidak terbukti,” tegas Rumondang.

Sidang perkara a quo akan dilanjutkan pada Rabu, 31 Agustus 2016, pukul 11.00 WIB. Sidang selanjutnya beragendakan untuk mendengar keterangan DPR. Mahkamah juga mengagendakan sidang untuk mendengarkan keterangan saksi dan ahli Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/lul)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

About Author

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *