Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh mengajukan uji materiilPasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintah Aceh) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perdana perkara dengan Nomor 51/PUU-XIV/2016 tersebut digelar Rabu (20/7) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Dalam permohonannya, Pemohon yang pernah menjalani hukuman pidana penjara selama 10 tahun sebagaimana putusan Kasasi Nomor 1344 K/Pid/2005, merasa dirugikan akibat berlakunya norma Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintah Aceh. Pasal tersebut menyatakan “Calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.”
Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya untuk kembali dipilih sebagai Gubenur Aceh periode 2017-2022 terganjal karena berlakunya pasal tersebut. Menurut Pemohon yang diwakili Heru Widodo, implementasi norma larangan dalam pasal a quo telah dimuat dan diberlakukan dalam Qanun Aceh No. 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Larangan mencalonkan diri kepada seseorang untuk menjadi kepala daerah karena pernah dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih dinilai sebagai aturan yang sewenang-wenang.
“Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pemerintahan Aceh sangat merugikan Pemohon oleh karena berlakunya pasal tersebut telah menghalang-halangi hak konstitusional Pemohon untuk maju dipilih menjadi kepala daerah di wilayah Provinsi Aceh,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto tersebut.
Pemohon juga mendalilkan norma yang diberlakukan di Provinsi Aceh sebagai satu kesatuan dalam wadah NKRI tersebut tidak selaras dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. “Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak lagi mensyaratkan tentang larangan bagi mantan terpidana dalam perkara yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015,” tambah Heru.
Ia menambahkan bahwa implementasi Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut juga telah ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum RI dengan mengubah aturan syarat pencalonan. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan nasihat perbaikan bagi pemohon. Hakim Konstitusi Patrialis Akbar meminta agar pemohon memeriksa kembali putusan No 42/PUU-XIII/2015 beserta dalil-dalil permohonannya. Ia mengungkapkan putusan MK tersebut bisa erga omnes dengan permohonan Pemohon. “Apa ini termasuk erga omnes apa enggak, gitu kan? Sebetulnya substansinya sama, walaupun undang-undangnya berbeda,” jelasnya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar pemohon memperbaiki argumentasi dalam permohonannya, tidak hanya menyebut pasal-pasal yang dijadikan batu uji. “(Dalam permohonan, red), Pemohon hanya menempelkan (pasal-pasal yang menjadi batu uji, red) saja, tidak menjadi sebuah analisis,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/lul)