Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang didampingi Hakim Manahan M.P Sitompul dan Hakim Aswanto, memimpin jalannya sidang pendahuluan uji Materi Undang – Undang tentang Pemerintah Daerah pada Kamis (31/3) di Ruang Sidang MK. foto Humas/Ifa
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Kamis (31/3) di ruang sidang panel MK.
Perkara yang teregistrasi dalam nomor 30/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh Walikota Blitar 2016-2021 Muh. Samanhudi Anwar yang merasa dirugikan oleh ketentuan Lampiran UU Pemda Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan.
Ketentuan tersebut menyatakan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota dialihkan ke pemerintah provinsi. Hal itu menyebabkan Pemohon sebagai walikota mengalami kerugian.
“Yang Mulia, ketentuan dalam UU Pemda yang mengalihkan wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan menengah yang berlaku pada pemerintah kabupaten/kota saat ini beralih kepada pemerintah provinsi. Dengan demikian, kerugian yang diderita oleh Pemohon adalah, pertama tidak dapat menetapkan kebijakan pendidikan menengah sebagai salah satu kebijakan pendidikan menengah gratis kepada masyarakat Kota Blitar,” Papar Aan Eko Widiarto dihadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selain itu, ketentuan tersebut membuat Pemkot Blitar tidak dapat lagi mengalokasikan dana untuk pendidikan menengah dan tidak dapat mewujudkan kurikulum muatan lokal yang memperhatikan kekhususan dan keragaman Kota Blitar.
Oleh karena itu, dalam petitum-nya Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan UU Pemda, khususnya Lampiran Angka I huruf A Nomor 1 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai kewenangan pengelolaan pendidikan menengah adalah kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Panel yang juga beranggotakan Hakim Konstitusi Aswanto dan Manahan Sitompul menyarankan Pemohon untuk mengelaborasi kembali kerugian konstitusional yang dialami oleh Kabupaten Blitar. “Di dalam permohonan Saudara sebenarnya Saudara sudah mencoba membangun jembatan bahwa ada hak konstitusional Kabupaten Blitar yang menjadi dirugikan karena adanya pengalihan kewenangan pengurusan tadi. Nah, ini yang menurut saya, jembatannya ini yang perlu dielaborasi agar lebih nampak bahwa memang kewenangan itu adalah kewenangan konstitusional,” ujar Aswanto.
Penafsiran Sempit
Dalam panel sidang yang sama, MK juga menggelar sidang perkara yang teregistrasi Nomor 31/PUU-XIV/2016. Perkara tersebut dimohonkan oleh Bambang Wijarnako dkk yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Dalam permohonannya, Pemohon berpendapat bahwa Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf A tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam Sub Urusan Manajemen Pendidikan UU Pemda memberikan kerugian konstitusional bagi para Pemohon.
“Pemohon menilai ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda berpotensi menghilangkan jaminan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Berlakunya Pasal 15 ayat (1) dan (2) serta lampiran huruf (A) UU 23/2014 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam jaminan di bidang pendidikan,” jelas Kuasa Hukum Pemohon Edward Dewaruci.
Selain itu, Pemohon juga menyatakan, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Kota Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya sudah mengeluarkan kebijakan dan program-program yang sudah dirasakan langsung hasilnya oleh Para Pemohon.
“Pemerintah Kota Surabaya sudah memiliki program jaminan pendidikan sampai tingkat menengah wajib belajar 12 tahun. Selain itu, juga program-program pendukung lainnya berupa program pembinaan tenaga pendidik yang dilakukan secara rutin dalam kurun waktu tertentu bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik sehingga bagus untuk meningkatkan kualitas anak didik,” imbuhnya.
Namun, lanjut Edward, adanya ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) serta lampiran huruf A UU Pemda menimbulkan kerugian konstitusional sebagai akibat penafsiran yang sempit atas pembagian urusan pengelolaan pendidikan.
“Jika kita melihat kepada hak dari warga negara, Undang-Undang Pemda ini pengalihan kewenangan pendidikan menengah. Pembagian urusan tersebut akan menimbulkan kerugian di antaranya jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Dengan adanya penafsiran sempit dari Pasal 15 ini yang seolah-olah mengalihkan seluruh urusan pendidikan SMA dan SMK itu kepada provinsi, maka kewenangan itu menjadi seolah-olah adanya pelarangan untuk kabupaten/kota melakukan pengelolaan,” lanjut Edward.
Untuk itu, Para pemohon meminta MK menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dapat dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota yang secara mandiri sudah mampu melaksanakan jaminan pendidikan sampai tingkat menengah khusus di daerahnya. (panji erawan/lul)